SEJARAH RINGKAS
KERAJAAN BINTAN
SEJARAH RINGKAS
KERAJAAN BINTAN
Ditulis oleh:
Prof. Madya Dato’ Perdana Dr. Hj. Abdul Malik, M.Pd.
Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH),
Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Indonesia.
1. Pendahuluan
Untuk mengetahui perihal Bintan, kita dapat berkonsultasi dengan Raja Ali Haji melalui karya kamus ekabahasanya kitab pengetahuan bahasa. Berikut ini Engku Haji Ali memerikannya.
“Bintan yaitu di dalam daerah Negeri Riau (tentulah maksudnya Riau dalam konteks masa itu, yang sekarang kita kenal sebagai Kepulauan Riau), satu pulau yang besar daripada segala pulau-pulau di dalam daerah Riau. Adalah ia bergunung yang lekuk di tengah-tengahnya. Adalah rajanya asalnya Wan Seri Beni namanya, yaitu perempuan.
Kemudian, datang Raja Tribuana dari Palembang, diperbuatnya anak angkat. Maka, diserahkannya Negeri Riau itu dengan segala takluk daerahnya kepada Raja Seri Tribuana itu. Kemudian Raja Seri Tribuana itulah yang memperbuat Negeri Singapura, dan anaknya menggantikan dia yang berpindah ke Melaka, dan balik ke Johor semula, lalu ke Riau ke Bintan semula. Dialah asalnya Raja Melayu sebelah Johor dan sebelah tanah-tanah Melayu; anak-cucunyalah menjadi raja sampai masa kepada membuat kamus bahasa ini,” (Haji, 1858).
Di dalam karya beliau yang lain yakni Tuhfat al-Nafis (1865), Raja Ali Haji menjelaskan bahwa Raja Seri Tribuana datang ke Bintan bersama Demang Lebar Daun. Orang yang disebutkan terakhir itu tak lain dari Raja Palembang yang menjadi mertua Seri Tribuana.
Dalam suatu versi Sejarah Melayu disebutkan bahwa Seri Tribuana bernama asli Seri Nila Pahlawan dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Beliau turun ke Bukit Seguntang Mahameru, Palembang (Provinsi Sumatera Selatan sekarang) bersama dua saudaranya, Seri Nila Utama dan Seri Krishna Pandita. Kala itu Palembang diperintah oleh seorang raja yang bernama Demang Lebar Daun.
Tatkala mendengar berita ada anak raja besar keturunan Iskandar Zulkarnain turun ke Bukit Seguntang, Raja Demang Lebar Daun segera menemuinya untuk mendapatkan berkat kebesaran anak raja itu. Nila Pahlawan, kemudian, dinikahkan dengan putri Demang Lebar Daun yang bernama Wan Sendari. Baginda kemudian diangkat menjadi Raja Palembang menggantikan Demang Lebar Daun setelah keduanya mengucapkan sumpah setia. Setelah menjadi Raja Palembang, Seri Nila Pahlawan menggunakan gelar Seri Maharaja Sang Sapurba Paduka Seri Trimurti Tribuana. Dalam versi lain Baginda disebut Suparba Seri Tribuana atau Seri Tribuana atau Sang Sapurba saja.
Seri Nila Pahlawan atau Sang Sapurba atau Seri Tribuana dikurniai empat orang anak yaitu Sang Maniaka, Sang Nila Utama, Puteri Candra Dewi, dan Puteri Seri Dewi atau Puteri Mengindra Dewi. Karena diserang Majapahit pada abad ke-13, Baginda dan keluarga berhijrah ke Bintan dan mangkat pun di Bintan.
Sang Nila Utama menggantikan ayahndanya menjadi raja. Ketika ditabalkan menjadi raja, Baginda memakai gelar Seri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Seri Tribuana. Bagindalah, kemudian yang memindahkan pusat pemerintahan ke Temasik, yang lalu diberi nama baru Singapura, pada 1324.
Rajah 1: Makam Sultan Iskandar Syah di Singapura Sultan terakhir Singapura
keturunan Raja-Raja Bintan
Sumber Rujukan: Detik Travel
2. Data Yang Bercanggah
Ada beberapa data yang bercanggah (bertentangan) sekitar sejarah Kerajaan Bintan seperti yang diperikan di atas. Percanggahan itu meliputi tokoh dan peristiwanya.
Pertama, soal tokoh Sang Sapurba. Semua versi Sejarah Melayu menyebut nama ini. Selain itu, Baginda juga dikenal dengan nama Suparba Seri Tribuana, Seri Tribuana, atau Sang Nila Utama. Raja Ali Haji dalam kedua karya beliau yang disebutkan di atas hanya menyebutkan nama Seri Tribuana, tak disebutkan Sang Sapurba. Tokoh inilah yang dijadikan anak angkat oleh Wan Seri Beni, Raja Bintan, bahkan dinikahkan dengan Putri Bintan, anak Wan Seri Beni dan mendiang suaminya Raja Bintan Asyhar Aya.
Versi lain menyebutkan bahwa Sang Sapurba atau Seri Tribuana berbeda dengan Sang Nila Utama. Nama yang disebutkan terakhir itu dikatakan adalah putra kedua Sang Sapurba, yang kemudian menggantikan ayahndanya sebagai Raja Bintan, kemudian lagi memindahkan pusat pemerintahan ke Temasik atau Singapura, sedangkan Sang Sapurba atau Seri Tribuana wafat di Bintan. Padahal, menurut Raja Ali Haji, Seri Tribuana wafat di Singapura. Berhubung dengan percanggahan tentang tokoh itu, versi Raja Ali Haji dan yang selari dengan itu lebih meyakinkan.
Pasalnya, Sang Sapurba atau Seri Tribuana atau Sang Nila Utama tak berada lama di Bintan, lalu Baginda membuka Singapura dan meninggal di sana. Kedua, ada yang mengatakan bahwa Raja Melayu Palembang dan keluarganya itu sampai di Bintan sekitar 1158. Ada pula yang menyebutkan bahwa mereka berpindah setelah Sriwijaya diserang Majapahit pada abad ke-13.
Kedua pendapat itu kurang sabit di akal. Pasalnya adalah (a) pada 1158 Sriwijaya masih menjadi Kemaharajaan Melayu yang besar dan kuat, ia baru melemah satu abad lebih kemudian; lagi pula, jarak waktu ketibaan di Bintan dan dibukanya Singapura sangat lama yaitu 166 tahun yaitu pada 1324 M.; (b) pada akhir abad ke-13 pula Majapahit baru berdiri (1293 M.) sehingga belum menjadi kerajaan yang besar dan kuat, lagi pula Majapahit baru merebut Singapura pada 1376 M.
Ketika piut Sang Sapurba berkuasa yaitu Raja Parameswara atau Iskandar Syah. Majapahit baru mengalahkan Sriwijaya setahun kemudian yaitu pada 1377 sehingga Sriwijaya yang telah lemah dan terpecah itu betul-betul jatuh. Lebih sabit di akal kedatangan keluarga Diraja Palembang ke Bintan sekitar 1272M yaitu setelah Sriwijaya dikalahkan oleh Kerajaan Tumapel-Singosari. Dari Kerajaan Singosari itulah memang kemudian didirikan Kerajaan Majapahit setelah mereka dikalahkan oleh Kerajaan Daha. Ketika dikalahkan Singosari, Sriwijaya belum betul-betul runtuh.
3. Kerajaan Bintan yang Mula-Mula
Kerajaan Bintan bukanlah kerajaan yang baru. Kerajaan ini diperkirakan telah ada sekitar 200S.M. lagi. Kerajaan Melayu-Hindu Bintan itu berdiri bersamaan dengan kerajaan merdeka kala itu seperti Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat), Kalingga (Jawa), Sriwijaya (Sumatera Tengah), Pasai (Aceh), Langkasuka (Kedah, Malaysia), Patani (Thailand selatan), Inderapura (Pahang), dan Temasik.
Empat ratus tahun kemudian yaitu sekitar 200M. beberapa di antara kerajaan yang berdiri hampir bersamaan itu menjadi besar dan kuat. Kerajaan yang menjadi besar itu adalah Tarumanegara, Kalingga, Langkasuka, dan Sriwijaya. Kerajaan Tarumanegara dapat menaklukkan Lampung, Inderagiri, Temasik, termasuk Bintan. Sejak itu, Kerajaan Bintan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara.
Memasuki abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya betul-betul berkembang pesat. Pada masa itu Sriwijaya telah menguasai Tarumanegara dengan semua daerah takluknya, seluruh Sumatera, Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, Kalimantan, Maluku, sampai ke Kepulauan Filipina. Pendek kata, Sriwijaya melesat menjadi Kemaharajaan Melayu Raya di Asia Tenggara. Dengan demikian, Kerajaan Bintan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Bintan menjadi kerajaan merdeka kembali ketika Sriwijaya diambang kehancuran oleh perang saudara. Antara lain, Sriwijaya dapat dikalahkan oleh Kerajaan Tumapel-Singosari pada 1272M. Tak lama setelah itulah keluarga Diraja Sang Sapurba atau Seri Tribuana datang dari Bukit Seguntang Mahameru, Palembang ke Bintan dan dijadikan Raja Bintan oleh Ratu Wan Seri Beni setelah dijadikan anak angkat dan menantu oleh raja perempuan itu. Atas izin Wan Seri Beni jualah, Seri Tribuana memindahkan pusat pemerintahan ke Singapura pada 1324 karena kala itu Temasik menjadi bagian dari Kerajaan Bintan.
Pada 1292, Marcopolo seorang pelaut Venesia, sempat singgah di Kerajaan Bintan-Temasik. Beliau mendapati Bintan sebagai bandar yang ramai dan makmur. Rakyatnya hidup sejahtera. Ketika Singapura ditaklukkan oleh Majapahit pada 1376M. Bintan kembali terjajah. Setelah Majapahit jatuh, Bintan berada di bawah Kerajaan Melaka karena Melaka pula yang menjadi kerajaan besar di Asia Tenggara. Raja-Raja Melaka itu kesemuanya keturunan Diraja Bintan.
Pada masa Kerajaan Melaka itulah putra-putra Bintan kembali bersinar. Ketika Melaka diperintahi oleh Raja Abdullah atau Sultan Mansyur Syah (1458-1477) melejitlah nama-nama Laksemana Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu, dan Hang Kasturi. Bahkan, karena begitu terkenal dan harum namanya, mereka diakui oleh banyak daerah dan negeri lain, terutama Laksemana Hang Tuah. Dalam hal ini, orang-orang yang mengakui itu mengatakan bahwa Laksemana Hang Tuah berasal dari daerah atau negeri mereka, padahal jelas sejatinya beliau adalah putra terbaik Melayu yang mulanya berkhidmat di Bintan kala itu.
Hang Tuah dilahirkan di Negeri Lingga. Masa Sultan Mansyur Syah itu penjagaan Bintan, seluruh Kepulauan Riau sekarang, dan Singapura diserahkan tanggung jawabnya kepada Laksemana Hang Tuah. Setelah beliau wafat, tugas itu diteruskan oleh anak-cucunya dan mereka diberi gelar Datuk Kaya dan Datuk Petinggi.
4. Hang Tuah dan Sahabat-Sahabatnya
Inilah awal kehadiran Hang Tuah. Dia lahir pada 1444 dan besar pada masa pemerintahan Kesultanan Melaka di bawah Sultan Mansur Syah (KOMPAS.com, Selasa, 12 Maret 2019). Takdir masa depannya tersirat di dalam mimpi ayahandanya, Hang Mahmud.
“Maka pada malam itu Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit, maka cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah. Hang Mahmud pun terkejut lalu bangun daripada tidur, lalu diriba anaknya Hang Tuah dan diangkatnya, maka diciumnya seluruh tubuh,” (Ahmad (Ed.) 1975, 20).Mimpinya itu menjadi petanda bagi Hang Mahmud dan istrinya. Masa depan putra mereka akan gilang-gemilang dan dia akan menjadi orang hebat ke depannya. Tapaknya dari Negeri Bentan. Dari negeri itulah tuah dan marwahnya akan menyerlah. Oleh sebab itu, niat mereka hendak pindah ke Bentan merupakan langkah yang tepat sehingga tak perlu dilengah-lengahkan lagi.
5. Mimpi Hang Mahmud
Hang Mahmud bermimpi keesokan harinya beliau bersama istri dan anaknya berencana hendak pindah dari kampung halaman mereka, tempat Hang Tuah dilahirkan. Mereka akan berhijrah ke negeri yang menjanjikan masa depan putranya dan mereka sekeluarga yang tanda baiknya telah ditunjukkan melalui mimpinya.
“SEBERMULA maka tersebutlah perkataan Hang Tuah anak Hang Mahmud di Sungai Duyong dan segala orang duduk di Sungai Duyong mendengar warta demikian itu: apabila Hang Mahmud mendengar khabar itu, maka kata Hang Mahmud kepada bininya yang bernama Dang Merdu itu, “Ayo tuan, baiklah kita pergi ke Bentan; negeri besar lagi pula kita tiga beranak; baiklah kita pergi pindah ke Bentan [huruf miring oleh pen.] supaya mudah kita mencari makan.” Maka sahut Dang Merdu, “Benarlah seperti tuan kata itu.”
“Maka Hang Mahmud pun berlengkaplah dengan sebuah lading. Setelah sudah, maka Hang Mahmud pun berpindahlah ke Bentan. Maka ia pun berbuat rumah hampir kampung Bendahara Paduka Raja. Maka Hang Mahmud pun berjual dan berkedai makanan di kedainya itu,” (Ahmad (Ed.) 1975, 20). Di manakah Sungai Duyong, kampung sekaligus tempat Hang Tuah dilahirkan, itu? Dalam hal ini, di Negeri-Negeri Melayu sepanjang Selat Melaka dan di Semenanjung Melayu, terdapat sekurang-kurangnya tiga tempat yang ada sungai yang bernama Sungai Duyong atau Sungai Duyung. Pertama, di Negeri Lingga, tepatnya di Singkep, kedua, di Negeri Bentan atau Bintan, dan ketiga, di Negeri Melaka.
Dari ketiga tempat itu, jelaslah bahwa tempatnya bukan Sungai Duyong di Bentan. Pasalnya, teks Hikayat Hang Tuah yang dinukilkan di atas menyebutkan bahwa Hang Mahmud dan keluarganya pindah dari kampung halaman mereka ke Negeri Bentan.
Lalu, mungkinkah yang dimaksudkan itu adalah Sungai Duyong di Negeri Melaka? Jawabnya, agak tak sabit di akal jika kampung kelahiran Hang Tuah itu di Melaka. Pasalnya, Hang Mahmud dan keluarganya pindah ke Bentan hanya menggunakan lading, yakni sejenis perahu yang tak seberapa besarnya. Padahal, jarak antara Negeri Melaka dan Negeri Bentan cukup jauh jika dibandingkan dengan jarak Sungai Duyong yang satu lagi dengan Pulau Bentan.
Alhasil, akan sangat sabit di akal Sungai Duyong (atau Duyung) yang dimaksudkan itu adalah Sungai Duyung di Negeri Lingga, tepatnya di Desa Tinjul, Kecamatan Singkep Barat, wilayahnya sekarang. Jarak tempuhnya tak sejauh antara Melaka dan Bentan. Lagi pula, banyak sekali pulaunya sehingga perahu sejenis lading pun dapat melewatinya menuju Negeri Bentan melalui selat-selat di antara pulau-pulau yang ratusan bilangannya di Negeri Lingga itu (lebih kurang 604 pulau).
Rajah 2: Perigi Hang Tuah di Sungai Duyung, Singkep, Lingga, Kepulauan Riau Tanah
Kelahiran Laksamana Hang Tuah.
Sumber Rujukan: Detik Travel
Mengapakah Hang Mahmud dan keluarganya pindah ke Bintan? Tiada lain maksudnya untuk mengubah nasib mereka sekeluarga. Menurut Hikayat Hang Tuah, kala itu Negeri Bentan telah memiliki raja. “Maka terdengarlah kepada segala anak sungai dan teluk rantau yang banyak itu bahawa sekarang negeri Bentan itu adalah raja, terlalu adil dan murahnya dan menteri pun terlalu bijaksana dan tegur sapanya akan segala rakyat. Maka mereka itu pun sekalian datang ke Bentan…. “ (Ahmad (Ed.) 1975, 18).
Raja baru itu dijemput oleh tuan-tuan Bentan dan Singapura dari Bukit Seguntang Mahabiru untuk dijadikan Raja Negeri Bentan. Baginda bernama Sang Maniaka salah seorang putra Sang Sapurba yang bertahta di Bukit Seguntang Mahabiru, Palembang.
Sesampainya di Bentan, Hang Tuah yang telah berusia 10 tahun ditempa dengan pelbagai ilmu dan kemahiran. Di antaranya dia dididik dengan ilmu agama, bahasa (mengasai dua belas bahasa), dan kemahiran bela diri dan atau kependekaran, yakni silat. Kesemuanya itu dilakukannya bersama sahabat-sahabat barunyadi Bentan, yakni Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu.
“Maka ia pun bersahabat sama-sama budak-budak sama besar, yang seorang namanya Hang Jebat dan seorang namanya Hang Kasturi dan seorang namanya Hang Lekir dan seorang namanya Hang Lekiu berkasih-kasihan lima bersahabat itu bermain-main pun tiadalah ia bercerai,” (Ahmad (Ed.) 1975, 21).
Mereka membesar bersama. Akan tetapi, di antara mereka, Hang Tuah-lah yang paling cerdas dan paling mahir serta telah menunjukkan bakat kepemimpinannya ketika masih belia lagi. Dari masih belia mereka telah berani membela Negeri Bentan dari para pengacau. Bakti pertama mereka dilakukan dengan mengalahkan perompak dalam tiga buah perahu. Itulah juga yang menjadi petanda keberanian mereka, yang sangat berbakat untuk menjadi hulubalang negeri. Oleh sebab itu, kelima belia yang bersahabat itu sangat disayangi oleh Bendahara Paduka Raja dan Sang Raja. Apatah lagi mereka berlima sangat rajin berguru untuk meningkatkan kemampuan dan kemahiran diri. Bagi Hang Tuah, mimpi ayahandanya mulai menampakkan kebenaran dalam kehidupan nyatanya.
6. Berhijrah ke Melaka
Setelah sekian lama bertahta di Bentan, menurut versi Hikayat Hang Tuah tanpa melalui Temasik atau Singapura , Sang Raja selanjutnya memindahkan pusat kerajaannya ke Negeri Melaka. Semua mereka ikut berhijrah ke Melaka, termasuk Hang Tuah lima bersahabat. Di Melaka-lah kelima wira Melayu itu semakin cemerlang karir kehulubalangannya sehingga Hang Tuah menjadi laksemana, Hang Jebat menjadi bentara kiri, dan Hang Kasturi menjadi bentara kanan, pun Hang Lekir dan Hang Lekiu menjadi hulubalang utama kepercayaan Bendahara Paduka Raja dan Sultan Melaka, Sang Maniaka, menurut Hikayat Hang Tuah.
Hang Tuah adalah tauladan wira sekaligus pemimpin Melayu yang paling cemerlang, gemilang, dan terbilang. Di dalam dirinya melekat sifat-sifat dan karakter wira yang agung: setia, patriotik, cerdas, cergas, berani, jujur, sabar, ikhlas, petah (komunikatif), penyayang, bertanggung jawab, religius, dan pelbagai karakter mulia lainnya yang memang wajib dimiliki oleh seorang wira dan pemimpin sejati. Karena sadar berasal dari rakyat suatu negeri, beliau mendarmabaktikan seluruh jiwa-raganya untuk membela rakyat dan negeri yang membesarkannya sehingga berhasil meraih pangkat sebagai panglima tertinggi angkatan laut Kerajaan Melaka, laksemana.
Apa pun atau sesiapa pun dia di puncak karir itu tak pernah ada artinya tanpa negeri, rakyat, dan sahabat yang selalu setia berada di belakangnya.
Maka, adalah tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin untuk membela marwah rakyat dan negerinya. Oleh sebab itu, tak heranlah sesiapa pun yang berhadapan dengan Hang Tuah yang membawa niat salah akan mendengarkan dan berlawan lebih dulu dengan bisikan halus di dalam hati mereka masing-masing, “Engkau jangan mengira hanya berdepan dengan Hang Tuah seorang diri, sebatang kara. Tidak, di belakang Tun Tuah itu ada berlaksa-laksa, bahkan berjuta-juta, orang yang siap membelanya. Sanggupkah engkau menghadapi rempuhan itu, wahai Fulan?” (Malik 2013, 258).
Menghadapi seorang wira yang jiwa-raganya bagaikan tembok sekaligus tombak baja itu, musuh manakah yang tak akan gerun, yang sanggup menatap matanya? Ya, sepasang mata bening yang memancarkan cahaya cemerlang melebihi makhluk apa pun dan dari mana pun, buah dari pengabdian yang tulus dan atas nama kebenaran semesta (universal).
Kewibawaan seorang wira memang muncul bersamaan dengan integritas pribadinya, yang siap melakukan apa saja demi marwah bangsa dan negerinya. Dia, dengan kewibawaan dan kelebihan yang dimilikinya, tak pernah rela walau sesaat pun negeri dan rakyatnya terhina atau tak dianggap keberadaannya. Karakter Wira Melayu Sejati itulah yang menyertai dan menyerlah dalam dirinya ke mana pun dia pergi sehingga dia sangat disegani oleh kawan dan lebih-lebih ditakuti oleh lawan. Sesiapa pun yang mencabar marwah Melayu pastilah akan bertembung dengan ini, “Langkah dulu mayat Hang Tuah, baru kalian dapat menaklukkan bangsa dan negeriku.” Dalam ungkapannya yang paling memukau, “Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi.” Seorang Melayu yang paling dayus pun akan bangkit maya dan semangatnya jika menghayati ucapan Sang Wira yang gagah berani, pengabdi sejati, yang anak jati Sungai Duyung, Singkep, Lingga yang membesar di Bentan itu.
Untuk sampai ke pangkat laksemana, Hang Tuah taklah mendapatkannya secara karbitan (tanpa kerja keras). Dia menapak karir setapak demi setapak hingga sampai ke jabatan puncak. Dia pun mendapat sokongan yang sangat berarti dari sahabat-sahabatnya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu, yang anak jati Bentan itu, yang mengabdi kepada bangsa dan negerinya bersama-sama. Dan, orang yang paling berjasa dalam hidupnya, selain ayahanda dan ibundanya, adalah orang tua yang kearifannya melebihi Sang Sultan, Bendahara Paduka Raja. Bendaharalah yang paling banyak membimbing dan membela Hang Tuah sehingga dia sampai ke puncak jaya perkhidmatan dan pengabdiannya.
7. Fitnah terhadap Hang Tuah
Pelbagai onak dan duri kehidupan harus dilalui Hang Tuah dan para sahabatnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Kesemuanya itu dapat dilaluinya dengan anggun dan bermartabat. Segala tipu helah yang dilakukan oleh musuhnya untuk menghancurkan rajanya, dirinya, rakyatnya, sahabatnya, dan negerinya dapat ditangkis dan ditepisnya secara cerdas, cergas, dan tangkas. Tak heranlah bahwa kemudian musuh-musuhnya harus bingkas dan menanggung malu karena mencoba melakukan perbuatan tak terpuji pada kesatria yang berjiwa suci. Pada gilirannya, para musuhnya pun harus mengakui bahwa mereka takkan pernah mampu mengalahkan seorang pahlawan yang mendasarkan baktinya pada ketinggian budi, keelokan pekerti, dan ketangguhan karakter seperti Hang Tuah.
Di antara cabaran yang paling sering dan paling kejam menerpa Hang Tuah, apatah lagi kalau bukan fitnah yang datang dari lingkungan istana, dari pembesar yang dekat dengan Sang Sultan. Gayung bersambut, pantun pun berbalas. Bisikan syaitan yang disampaikan oleh pembesar dan para pegawai tanpa prestasi yang hendak mengambil muka kepada Sang Raja, oleh penguasa yang bertelinga tipis dan jauh dari cahaya kearifan itu, diterima begitu saja tanpa usul periksa. Tak kurang dari dua kali dia difitnah dengan kejam (Salleh 2009, 686). Adakah mungkin seorang Hang Tuah bermain muda dengan dayang-dayang raja? Sabitkah di akal seorang pengabdi sejati negeri bermukah ria dengan gundik raja? Akan tetapi, begitulah kalau penguasa telah dikuasai rayuan syaitan. Baginda menerima semua tuduhan itu begitu saja. Alhasil, Hang Tuah divonis dengan hukuman: Mati!
Dihukum mati, justeru, Hang Tuah tak juga wafat. Kearifan seorang tua Bendahara Paduka Raja-lah yang menyelamatnya, dan tentu menyelamatkan muka Sang Raja juga karena ternyata kebijakan Baginda Raja menghukum mati Hang Tuah itu ternyata salah. Bendahara tak melaksanakan titah raja, tetapi mengungsikan Hang Tuah ke luar ibukota negara. Beliau memang berasa mendurhaka kepada Sultan Melaka, tetapi sikap itu secara terpaksa harus diambilnya demi keselamatan bangsa dan negara yang lebih besar.
Tatkala bangsa dan negara benar-benar memerlukan seorang wira yang tangguh, oleh Bendahara dihadirkanlah Hang Tuah di hadapan Baginda.
Tentulah penguasa itu terkejut karena Tun Tuah ternyata masih hidup. Tentulah Baginda tak murka, malah bersyukur, dengan kehadiran si pembela bangsa itu. Apatah lagi, Hang Tuah bangkit dari “kematiannya” kali ini membawakan Sang Sultan seorang perempuan yang sangat digilainya, Tun Teja nan cantik jelita.
Penguasa pun terbebas dari arang yang hendak dicontengkan orang ke keningnya. Pasalnya, Hang Tuah dapat meredam amukan orang yang hendak memorakporandakan Negeri Melaka. Orang-orang yang iri dan dengki terhadap Hang Tuah karena prestasinya yang terus menjulang, terus sajamemainkan siasat buruk mereka. Hang Tuah kembali difitnah untuk kedua kalinya. Dalam menghadapi fitnah keji kali kedua itu, Sultan Melaka, bahkan tak mendengarkan nasihat istri sendiri, Tun Teja. Padahal, sebelum menikah Sang Raja tergila-gila bangat kepada Tun Teja. Justeru sesungguhnya, Tun Teja mencintai Hang Tuah dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, cinta sejati mereka harus dikorbankan demi berbakti kepada Sultan Melaka yang mereka muliakan dan untuk menjaga marwah negeri. Sultan Melaka tetap dengan pendiriannya. Baginda tak mempan dinasihati oleh sesiapa pun juga. Baginda telah menetapkan bahwa Hang Tuah telah melakukan pengkhiatan yang tak mungkin diampuni dan hukumannya sekali lagi; Bunuh!
Rajah 3: Makam Hang Tuah di Bintan, Kepulauan Riau berdasarkan keyakinan rakyat
tempatan
Sumber Rujukan: Detik Travel
8. Hang Jebat Menuntut Bela
Tentulah Hang Jebat tak menerima sahabat sejatinya itu diperlakukan demikian. Beliau memainkan siasat: mula-mula menerima jabatan yang ditinggalkan sahabatnya Hang Tuah yang telah “mangkat”. Beliau juga menerima anugerah gelar Paduka Raja walau tak mau Bendahara Paduka Raja dan sahabat-sahabatnya hadir dalam pertabalan gelar itu. Tentulah ada maksud yang terkandung di sebalik penolakan itu.
Hang Jebat pun mulailah memainkan siasatnya. Mula-mula beliau berjinak-jinak di istana Sultan Melaka, bahkan beliau menginap di sana melayani semua keinginan raja, tak kembali ke rumahnya. Seterusnya, beliau melakukan perbuatan yang tiada senonoh di istana dengan dayang-dayang, para gundik, dan pegawai istana. Akibatnya, Sang Sultan dan istrinya, Tun Teja, tak berkenan lagi tinggal di istana dan memilih pindah ke rumah Bendahara Paduka Raja.
Dalam pada itu, perilaku bejat Hang Jebat di istana semakin menjadi-jadi. Menghadapi keadaan itu, Sultan Melaka meminta pandangan Bendahara Paduka Raja untuk menghabisi Hang Jebat. Sesuai dengan rencana itu, secara bergelombang para pembesar lengkap dengan pasukan tentara dikirim ke istana untuk membunuh si pendurhaka itu, termasuk para sahabat Hang Jebat sendiri: Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Akan tetapi, semua upaya itu gagal. Hang Jebat tak terkalah kan, bahkan namanya semakin melambung di mata rakyat. Menurut firasatnya, hanya Hang Tuah yang dapat membunuhnya. Sekarang Laksemana telah mangkat dan keris Taming Sari telah diserahkan oleh Sultan Melaka kepadanya. Tiada sesiapa lagi yang sanggup membunuhnya sehingga dia boleh berbuat sesuka hatinya di istana dan di Negeri Melaka.
Tindakan pendurhakaan seorang diri yang dilakukan oleh Hang Jebat saling tak tumpah dengan perbuatan keji yang dituduhkan kepada Hang Tuah. Beliau bermain muda dengan dayang-dayang dan bermukah dengan gundik raja. Beliau berpesta pora dengan tindakan pendurhakaan itu.
Dengan perilaku pendurhakaan itu, Hang Jebat seolah-olah hendak mengatakan ini kepada sesiapa sahaja, terutama para penguasa Negeri Melaka. Kepadaku saja kalian tak mampu mengambil tindakan apa-apa ketika berbuat jahat. Apatah lagi kalau perbuatan seperti ini betul-betul dilakukan oleh Datuk Laksemana. Jika beliau hendak melakukannya, tiada sesiapa pun di Negeri Melaka ini sanggup menghalanginya karena beliau itu hulubalang besar yang tinggi ilmunya. Beliau dapat mengalahkan dan menutup mulut sesiapa sahaja. Akan tetapi, dengan ketinggian budi pekerti dan pemahaman agamanya, tak mungkin Tun Tuah melakukan perbuatan durhaka seperti yang kulakukan.
Negeri Melaka ini sesungguhnya Laksemanalah pemimpin di lapangan, yang sesungguhnya, menghadapi sesiapa sahaja, sama ada kawan ataupun lawan. Pemimpin strateginya Bendahara Paduka Raja. Akan halnya Baginda Sultan, jangankan menghadapi musuh, mengurusi dirinya sendiri pun tiada selesai. Sampai perempuan yang diingininya pun, orang lain yang mendatangkannya, bahkan beradu- nya pun hendak didendangkan. Tiada sesuatu apa pun yang dapat diharapkan dari pemimpin seperti itu, kecuali hanya sebagai lambang sahaja. Anehnya, perbuatan zalimnya tiada memandang orang. Maka, sekarang Si Jebat durhaka inilah menjadi lawannya.
Tun Jebat mengaruk sejadi-jadinya. Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah. Bahkan, oleh Hang Jebat, Bendahara Paduka Raja pun dipermalukannya karena dianggapnya tokoh karismatik yang selama ini menjadi tempat mereka mengadu itu telah bersubhat dengan raja untuk membunuh Hang Tuah. Sebagai balasannya, para petinggi negeri dan penguasa itu mesti diaruk! Ternyata, Hang Jebat salah. Datuk Bendahara tetap di pihak yang benar, di pihak mereka, di pihak Hang Tuah yang diyakininya tak ada cacat-celanya. Setelah Sang Raja sampai pada titik puncak kebingungan dan keputusasaannya menghadapi penghinaan yang dilakukan oleh Hang Jebat, sekali lagi, Hang Tuah dihadirkan di hadapan Baginda. “Ah, kalaulah ada Si Tuah, takkan beta mendapat aib begini.” Hang Tuah memang benar-benar ada, beliau bangkit dari “kematiannya” untuk menghadapi situasi simalakama, “Dimakan mati emak, diluah mati bapak!” Karena apa? Beliau harus berhadapan dan membunuh sahabatnya sendiri, yang justeru membelanya dan membela Sumpah Setia Melayu.
Malangnya Hang Jebat. Mengapakah dia harus membunuhi orang-orang yang tak berdosa? Apakah salahnya dayang-dayangnya istana sehingga harus diperlakukan secara tak senonoh? Mengapakah dia harus menghabisi para pengawal kerajaan karena dendamnya kepada sultan? Bukankah dayang-dayang dan pengawal yang tak berdosa itu dari kalangan rakyat juga dan bukan semuanya melakukan fitnah kepada Hang Tuah? Kalau marah kepada raja, penguasa zalim itu, mengapakah bukan raja langsung yang dijadikan sasaran “tuntut bela”? Marah kepada seekor nyamuk parasit raksasa, mengapakah kelambu harus dibakar? Itukah sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang wira sejati?
Pelbagai pertanyaan lagi boleh didakwa kepada Tun Jebat, tetapi dia teguh dengan satu jawaban, “Sepala-pala nama jahat jangan kepalang. Kuperbuat demikian ini pun, kerana laksemana tiada dalam dunia ini,” (Ahmad (Ed.) 1975, 335-336). Jelaslah duduk perkaranya. Hang Jebat melakukan semua keonaran itu untuk membalas tindakan Sultan Melaka yang telah membunuh Laksemana Hang Tuah. Untuk itu, beliau tak lagi berpikir, bahkan tak terpikirkan, apa pun akibat dan padahnya bagi dirinya. Hidup ini bukan harus mementingkan diri sendiri sehingga negeri dan bangsa tercemari.
Pikiran Hang Tuah berkecamuk. Padahal, titah telah turun dari Sang Raja. “Ya kekasihku, bahawa aku terlalu amat beroleh malu. Adapun sekarang siapatah lain daripada kekasihku yang menghapuskan arang pada muka ini?” Sultan Melaka membujuk Hang Tuah. Padahal, ketika hendak menghukum Datuk Laksemana karena fitnah orang besar dan segelintir pegawai kerajaan yang dengki, Baginda Sultan tiada berpikir apatah lagi berbicara begitu. Di luar balairung seri, petir sekawan menggelegar bagai hendak mengoyakkan Bumi Melayu.
9. Dilema Hang Tuah
Laksemana Hang Tuah betul-betul dihadapkan pada situasi serbasalah, dilematis. Malangnya lagi, Hang Jebat. Mengapakah angkara murka harus dilawan dengan angkara murka yang lain? Bukankah akan lebih canggih jika kemungkaran dilawan dengan kebijaksanaan. Langsung membalas dendam kepada Sang Raja yang kejam akan jauh lebih mulia daripada “memberi hati” dengan mempermalukan dan membunuh perempuan-perempuan tak berdosa dan para pengawal, yang karena profesinya, harus tunduk kepada titah raja. Mengamuk kepada seorang raja yang zalim jauh lebih baik daripada mengaruk kepada rakyat dan negeri, yang sebagian besar mereka tak terlibat sama sekali dengan kezaliman Sang Raja. Kecuali memang, mereka nyaris tak berbuat apa-apa menghadapi kezaliman penguasa.
Tidakkah pilihan itu jauh lebih jantan daripada yang dilakukan saat ini? Adakah Tun Jebat tak cukup bernyali berhadapan langsung satu lawan satu dengan penguasa yang kurang usul periksa itu? Mengapakah jalan ini yang harus diambil untuk membalaskan sakit hatinya karena pengkhiatan yang dilakukan penguasa? Alangkah terkejutnya Hang Jebat. Kini kedua karib itu benar-benar berhadapan setelah Hang Tuah berhasil memasuki istana. Ternyata,
Laksemana Hang Tuah, teman yang sangat dihormatinya, masih hidup. Tentulah beliau juga sangat bahagia. Dengan begitu, bermakna keselamatan dan marwah Melayu masih tetap terjaga.
Dari sahabatnya yang disangkanya telah hilang di dunia itu, Hang Jebat mengetahui bahwa Bendahara Paduka Raja yang arif itu, yang tak hanya sebagai atasan mereka, tetapi telah menjadi guru kebijaksanaan dan orang tua mereka sejak masih di Negeri Bentan, tak melaksanakan titah sultan. Beliau sangat yakin bahwa Hang Tuah tak bersalah, tetapi Sultan Melaka telah termakan hasutan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Para pihak itu sengaja melakukan perbuatan keji untuk mendapatkan keuntungan dari sultan.
Ketika ditanya oleh Hang Tuah mengapakah sahabatnya Hang Jebat melakukan tindakan mendurhaka kepada raja, Bentara Kiri Kesultanan Melaka itu menjelaskan alasannya seraya menangis. Laksemana pun menangis karena kasihan akan nasib yang menimpa sahabatnya.
“Aku pun kerana melihat engkau dibunuh oleh Bendahara tiada dengan dosanya; sebab itulah maka sakit hatiku. Akan istimewa aku pula orang permainan tiada akan dibunuhnya, kerana raja itu membunuh dengan tiada periksanya. Pada bicara hatiku, sedang engkau banyak kebaktianmu dan jasamu lagi dibunuhnya oleh raja, istimewa aku pula. Sebab pun kuperbuat demikian ini, sepala-pala nama jahat jangan kepalang, seperti pantun Melayu, rosak bawang ditimpa jambaknya; maka sempurnalah nama derhaka dan nama jahat,” (Ahmad (Ed.) 1975, 343).
Pantang Melayu menjilat ludahnya sendiri! Remuk redamlah hati kedua orang bersahabat itu. Pertarungan pun dimulailah: yang seorang melaksanakan perintah sultan, sedangkan yang lain mempertahankan diri sekuat dapat. Pertarungan keduanya digambarkan sangat lama karena sama-sama sakti. Bukankah mereka pendekar Melayu yang namanya sudah termasyhur di sekutah-kutah negeri? Kemampuan mereka bertempur dan berperanglah yang membuat nama Kesultanan Melaka dan nama bangsa Melayu menjadi harum ke mancanegara.
Bedanya, Tun Tuah pendekar berilmu tinggi yang mampu menguasai diri dalam keadaan segenting apa pun. Tun Jebat pula sangat sulit menahan amarah kalau sudah sampai ke puncaknya. Akhirnya, keris Taming Sari yang digunakan Hang Jebat dalam pertarungan itu dapat juga direbut oleh pemiliknya, Hang Tuah, setelah mereka bertarung sekian lama. Keduanya meneruskan pertarungan. Tak mudah Hang Jebat dirobohkan. Karena telah terlalu letih, akhirnya Hang Jebat tertikam juga oleh Hang Tuah. Selesai menikam sahabatnya itu, Hang Tuah meninggalkan Hang Jebat yang kesakitan karena tertikam dan pulang ke rumahnya. Beliau tak pergi menghadap raja.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Hang Jebat membalut luka tikaman Hang Tuah di perutnya. Setelah itu, beliau turun dari istana menuju kota. Tiga hari tiga malam Hang Jebat mengaruk di kota Melaka sehingga beribu-ribu orang mati ditikamnya. Akhirnya, Hang Tuah juga yang menghentikan perbuatan Hang Jebat membunuhi orang-orang Melaka itu.
Hang Tuah membawa Hang Jebat ke rumahnya. “Tibalah saatnya untuk berpisah, Tuah sahabatku. Relakanlah hamba pergi dahulu. Uraikanlah barut luka hamba ini.” Sesuai dengan permintaan Hang Jebat, Laksemana pun membuka balutan luka tikam sahabatnya itu. Darah menyemur-nyembur dari lukanya itu ke seluruh tubuhnya. Akhirnya, Hang Jebat pun rebah dan mangkat di haribaan Hang Tuah.
Sebelum kepergiannya untuk selama-lamanya dari dunia yang penuh tipu-daya ini, Hang Jebat, dalam pandangan sayunya menghadapi maut seolah-olah hendak berucap, “Biarlah tragedi yang menimpa kita ini menjadi tauladan bagi anak-cucu kita kelak, generasi bangsa Melayu yang sangat kita cintai. Bahwa cinta sejati terhadap saudara, rakyat, dan negeri sendiri jauh lebih tinggi nilainya daripada cinta kepada apa pun, setelah cinta kepada Allah dan Rasulullah.”
Hal itu memang tak dikatakannya, kecuali dengan simbol wasiat agar anaknya yang masih di dalam kandungan tujuh bulan di perut Dang Baru, dayang-dayang Datuk Bendahara, kekasihnya, untuk dipelihara dan dijaga baik-baik oleh Hang Tuah setelah lahir kelak. Permintaan terakhir Hang Jebat itu disetujui oleh Laksemana Hang Tuah.
Hang Tuah tak berkata sepatah pun. Dia menatap sahabatnya yang terbujur kaku di haribaannya itu dengan duka tertahan. Dia menangis sejadi-jadinya. Itulah tangis yang paling menyayat hati dari Sang Wira Pengabdi Sejati. “Selamat jalan, saudaraku. Semoga Tuan Hamba diterima di sisi Allah.” Dan, adakah artinya peristiwa ini bagi kita hari ini di sini?
Tragedi yang menimpa Hang Jebat dan Hang Tuah itu mengingatkan kita akan Sumpah Setia Melayu yang diikrarkan oleh Seri Teri Buana dan Datuk Demang Lebar Daun di Bukit Seguntang Mahameru. Keduanya menafsirkan dan atau menekankan pemahaman secara berbeda. Hang Jebat lebih menekankan pada “Jikalau anak cucu tuanku dahulu mengubahkan dia, [maka] anak cucu patik pun mengubahkan dia.” Dalam pada itu, Hang Tuah lebih menekankan, “Hendaklah pada akhir zaman kelak anak cucu bapa hamba jangan durhaka, dan [kepada] anak cucu hamba, jikalau ia zalim dan jahat pekertinya sekalipun.”
10. Akhir Pengabdian Hang Tuah
Setelah Hang Jebat wafat, Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya masih terus mengabdi untuk rakyat dan negeri. Beliau berkunjung ke banyak negeri. Ke mana pun datang berkunjung, beliau selalu dikagumi karena keluhuran budi dan kesantunan pekertinya. Begitulah beliau memperkenalkan karakter bangsanya kepada masyarakat dunia sehingga beliau jauh lebih dulu mengglobal sebelum isu-isu globalisasi merebak seperti yang terjadi setakat ini. Dengan misinya itu, Negeri Melayu terkenal sampai jauh yang membuat banyak bangsa berpusu-pusu datang ke Bumi Melayu untuk berniaga, bermuhibah, dan sebagainya.
Alhasil, terkenallah Negeri Melayu sebagai negeri yang sangat makmur dan rakyatnya sejahtera belaka. Hang Tuah tak perlu, dan memang tak terniat sedikit pun di hatinya, untuk menjual tanah airnya secara harfiah. Dia mempromosikan tanah air dan bangsanya dengan kecerdasan, kecendekiaan, dan kepiawaian diplomasinya. Itulah jati diri seorang Hang Tuah, Sang Wira Sejati.
Di antara yang datang itu, tersebutlah bangsa Peringgi (Portugis). Berbeda dengan bangsa lain, Peringgi datang untuk menguasai, menjajah, dan menjatuhkan marwah Melayu. Tentulah perangai Peringgi itu tak disukai Hang Tuah dan semua orang Melayu. Peringgi yang berniat salah itu diperangi Hang Tuah dan musuh itu harus lari meninggalkan Bumi Melayu untuk kembali ke negeri mereka dengan menanggung malu. Selagi ada Hang Tuah, pantang Melayu kalau dicabar! Bukankah di negeri ini tembuni kita ditanam?
Suatu ketika Hang Tuah diperintahkan oleh Sultan Melaka untuk meminang Puteri Gunung Ledang untuk dijadikan istri sultan. Puteri Gunung Ledang bersedia menikah dengan Sultan Melaka dengan syarat yang berat, antara lain, Sultan harus menyediakan tujuh guci air mata perawan dan secawan darah Raja Ahmad.
Hang Tuah menyadari bahwa permintaan Puteri Gunung Ledang itu tak mungkin dipenuhi. Alhasil, beliau telah mengecewakan Sang Sultan. Berasa demikian, beliau membuang kerisnya ke sungai seraya bersumpah tak akan pulang ke Melaka, kecuali jika kerisnya timbul kembali. Keris yang telah tenggelam itu belum juga timbul sehingga beliau tak lagi kembali ke Melaka. Hang Tuah yang sakti itu telah meraibkan diri.
“Maka Tun Tuah pun tiada tersebut lagi, di dalam negeri itulah. Tetapinya, kata orang, Si Tuah tiada mati [huruf miring oleh pen.], kerana Si Tuah itu ia hulubalang segala laki-laki dan aulia segala laki-laki. Maka sekarang sekali khabarnya Tun Tuah ada di pucuk hulu Sungai Perak, ia duduk menjadi raja segala biduandanya orang hutan…,” (Ahmad (Ed.) 1975, 525).
Kemudian daripada itu, Peringgi datang lagi ke Negeri Melayu. Mereka mengetahui bahwa Laksemana Hang Tuah telah mengundurkan diri dari gelanggang pentadbiran negeri. Kinilah saatnya melanjutkan misi jahatnya, menguasai Bumi Melayu, menjarah hasil-hasilnya, dan menempatkan bangsa Melayu ke jurang terdalam sebuah kehancuran. Dalam pada itu, fitnah, hasad, dan rasuah merejalela di pemerintahan Kesultanan Melayu. Maka, berhasillah Peringgi menjajah Melayu. Raibnya Hang Tuah ternyata membawa misi yang baru. Beliau menjadi raja bagi biduanda (hamba-hamba raja) dan orang hutan di suatu tempat di Negeri Melayu. Para biduanda dan orang hutan itu bukanlah sebarang orang. Mereka adalah pengikut setia Hang Tuah yang tak rela tunduk dan berada di bawah telapak kaki penjajah, sesiapa pun penjajah itu.
Sampai hari ini mereka masih menjadi pengikut setia Sang Wira Melayu Sejati. Mereka lebih bangga disebut orang udik daripada disebut masyarakat metropolis, tetapi menyudu di telapak tangan penjajah. Malangnya, sampai hari ini Hang Tuah belum hendak kembali. Padahal, kalau dia kembali, dengan sekali pekik Allahu Akbar, nescaya marwah Melayu akan terjulang kembali!
Masyarakat Bintan percaya bahwa salah satu makam tua di Teluk Bintan adalah makam Laksemana Hang Tuah. Dalam hal ini, menurut cerita dari mulut ke mulut yang berkembang dalam masyarakat Bintan sekarang, setelah bersara dari Kesultanan Melaka, Laksemana Hang Tuah kembali ke Bintan dan wafat di sana. Bagaimanapun kebenaran versi lisan ini memerlukan pengkajian yang lebih lanjut.
11. Bintan sebagai Benteng Pertahanan
Ketika Peringgi atau orang Portugis baru menjejakkan kakinya di Melaka pada 1509, mereka mendapati Kemaharajaan Melayu Melaka memang luar biasa hebatnya. Negerinya ramai dan berlimpah kemakmuran. Bersamaan dengan itu raswah pun sangat semarak. Kesemuanya tertera dalam berita-berita Cina dan kronika Portugis. Dalam catatannya, Tome Pires menulis, “Siapa yang memiliki Melaka, dialah yang menentukan hidup-matinya Venesia.”
Tak diragukan lagi, itulah puncanya Melaka diserang Peringgi pada 25 Juli 1511. Pihak penceroboh itu mengerahkan kekuatan 1.600 serdadu dengan 15 kapal besar yang dipimpin oleh Admiral D’Alburqueque. Namun, tak mudah untuk menaklukkan Melaka. Baru pada 15 Agustus tahun itu juga Melaka dapat dikuasai oleh musuh setelah mereka mendatangkan bantuan dari jajahan Portugis di Goa (India). Roboh sudah Kota Melaka. Sultan Mahmud, Sultan terakhir Melaka, memindahkan pusat pemerintahan yang juga menjadi benteng pertahanan. Ke mana lagi kalau bukan ke Bintan, yaitu di Kopak yang diperkuat dengan benteng pelindung di Kota Kara. Dari situlah Laksemana Hang Nadim melancarkan serangan terhadap Portugis di Melaka sehingga Peringgiharus menderita kerugian besar.
Rajah 4: Situs Kota Kara di Bintan, Kepulauan Riau.
Sumber Rujukan: Detik Travel
Pada Oktober 1512 Kota Kara diserang Portugis di bawah pimpinan Jorge d’Alburqueque dan Jorge de Brito dengan kekuatan 600 serdadu. Tak puas dengan itu, penjajah itu datang lagi pada 1523 dan 1524.
Rajah 5: Lapangan Terbang Internasional Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau.
Sumber Rujukan: Detik Travel
Dalam suatu serangan penghabisan, Kota Kara dihancurkan dan Kopak dibumihanguskan. Itu dilakukan setelah lebih dulu Pedo Mascarenhas yang memimpin 1.000 serdadu menyerang Bengkalis, salah satu tempat pertahanan Sultan Mahmud, pada 23 Oktober 1526. Dari sana mereka terus ke Pulau Bulang, dan akhirnya ke Bintan.
Sultan Mahmud beredar ke Pelalawan, Riau Daratan sekarang. Dan, pada 1528 Baginda mangkat di Pekan Tua, Pelalawan, Riau, kembali ke rahmatullah. Putra baginda yang bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II, kemudian, mendirikan Negara Melayu Baru, Kesultanan Johor-Riau pada 1529. Sejak itu sampai pusat kesultanan berada di Johor lama sampai 1678.
Rajah 6: Makam Sultan Ahmad Syah ibni Sultan Mahmud Syah I Melaka di Teluk
Bintan, Kepulauan Riau.
Sumber Rujukan: Detik Travel
Setelah pusat pemerintahannya yang berpusat di Batu Sawar, Johor, diserang Kerajaan Jambi pada 1673, pada 1678 pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Johor atau Riau-Johorn Pahang-Lingga dipindahkan ke Sungai Carang, Hulu Riau, Tanjungpinang sekarang. Pusat Kesultanan Melayu itu kembali ke Pulau Bintan.
12. Laksemana Bentan
Pada masa Kesultanan Johor-Riau berpusat di Johor Lama, terkenallah seorang lagi putra Bintan. Beliau adalah Laksemana Megat Seri Rama atau Laksemana Bentan, mengambil sempena nama tempat kelahirannya, Bentan atau Bintan. Beliau ada seorang Laksemana Melayu yang terkenal gagah berani.
Beliaulah yang menjadi pemimpin tentara Kesultanan Johor-Riau dalam menjaga keamanan kawasan Kesultanan Melayu itu pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah II (1685-1699).
Megat Seri Rama wafat 29 Oktober 1699 setelah beliau menikam Sultan Mahmud karena menuntut bela atas kematian istrinya, Dang Anum, yang dibunuh oleh Tun Bija Ali atas perintah Sultan Mahmud, 23 Oktober 1699. Pasalnya, Dang Anum makan seulas nangka milik sultan karena mengidam ketika hamil anak sulung. Peristiwa itu terjadi ketika Laksemana Megat Seri Rama sedang bertugas di laut menjaga keamanan wilayah Kesultanan Johor-Riau.
Megat Seri Rama wafat karena kena lemparan keris Sultan Mahmud di ujung ibu jari kakinya dan disumpah muntah darah oleh Baginda Sultan. Sumpah itu berlaku terhadap tujuh keturunan Laksemana, tak boleh menginjakkan kaki di Kota Tinggi atau Johor Lama, yang kalau dilanggar akan muntah darah.
Rajah 7: Makam Laksemana Megat Seri Rama di Kampung Kelantan, Hulu Sungai
Johor, Kerajaan Negeri Johor, Malaysia.
Sumber Rujukan: Detik Travel
Sultan Mahmud juga mangkat karena ditikam oleh Laksemana Bentan ketika dijulang dalam perjalanan menuju masjid hendak melaksanakan shalat Jumaat. Itulah sebabnya, setelah mangkat baginda dikenal sebagai Sultan Mahmud Mangkat Dijulang. Peristiwa itu tergolong paling tragis dalam sejarah Melayu sepanjang masa, jauh lebih tragis daripada perlawanan Hang Jebat terhadap Sultan Melaka. Apatah lagi, jika dikaitkan dengan rangkaian peristiwa yang terjadi kemudian. Pusara Laksemana Bentan dan istrinya, Dang Anum, bersanding mesra di Kompek Makam Kampung Kelantan, Hulu Sungai Johor.
13. Kalam Penutup
Di atas telah disebutkan bahwa ketika akan dijadikan raja, Sang Sapurba Taramberi Tribuana atau Seri Tribuana dengan Demang Lebar Daun mengucapkan sumpah setia. Sumpah itu dikenal dengan sebutan Sumpah Setia Melayu (lihat Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu). “Maka sembah Demang Lebar Daun, Adapun Tuanku segala anak-cucu patik sedia jadi hamba ke bawah duli Yang Dipertuan; hendaklah ia diperbaiki oleh anak-cucu duli Tuanku. Dan, ia berdosa, sebesar-besar dosanya pun, jangan ia difadhihatkan, dinista dengan kata yang jahat; jikalau besar dosanya dibunuh, itu pun jikalau berlaku pada hukum syarak.” Maka titah Sang Sapuba, “Hendaklah pada akhir zaman kelak anak-cucu bapa hamba jangan durhaka pada anak-cucu kita, jikalau ia zalim dan jahat pekerti sekalipun.” Maka sembah Demang Lebar Daun, “Baiklah Tuanku, tetapi jikalau anak buah Tuanku dahulu mengubahkan dia, maka anak-cucu patik pun mengubahkanlah.” Maka titah Seri Tri Buana, ”Baiklah,kabullah hamba akan waad itu.” Maka keduanya pun bersumpah-sumpahlah, barang siapa mengubahkan perjanjiannya itu dibalik(kan) Allah subhanahu wataala bumbungan rumahnya ke bawah, kaki tiangnya ke atas.
Dengan bahasa kita sekarang, inti Sumpah Setia Melayu itu, “Rakyat tak boleh mendurhaka kepada raja, tetapi raja pun tak boleh mempermalukan rakyat.” Pelbagai penafsiran boleh dibuat tentang makna yang dikandung oleh Sumpah Setia itu selain arti harfiahnya.
Raja Ali Haji memang tak menyebutkan perihal Sumpah Setia itu di dalam karya-karya beliau. Akan tetapi, di dalam Tuhfat al-Nafis jelas-jelas beliau mengatakan mengapa peristiwa-peristiwa ini terjadi: Singapura dilanggar todak, Singapura ditaklukkan oleh Majapahit, dan Melaka dilanggar Peringgi. Engku Haji Ali secara tersirat hendak mengingatkan kita akan saktinya Sumpah Setia Melayu itu. Dan, putra-putra perkasa Bintan, Hang Tuah, Hang Jebat, dan yang paling menggemparkan Laksemana Bintan atau Laksemana Megat Seri Rama mempertegaskan bahwa Sumpah Setia itu memang tak boleh dilanggar. Adakah maknanya semua peristiwa itu bagi generasi Melayu masa kini?